Rabu, 14 September 2011

FORUM GURU

Dipublikasikan di Harian Umum PIKIRAN RAKYAT

FORUM GURU
Oleh: Yayan Heryanda


          Untuk menyukseskan program wajib belajar pendidikan dasar memerlukan alokasi pendanaan yang cukup besar agar penyelenggara pendidikan dapat memberikan pelayanan pendidikan gratis  yang  bermutu




Menuju Wajib Belajar yang Berkeadilan

            Program wajib belajar pendidikan dasar (wajardikdas 9 tahun) sebenarnya telah dicanangkan pemerintah jauh-jauh hari sebelumnya, hal ini tampak terasa manakala anak-anak yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Realisasi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah bergulir seiring perubahan jaman yang sangat cepat. Dalam perjalanan tersebut pemerintah dan pemerintah daerah nyaris mengabaikan alokasi anggaran pendidikan sehingga sebagian besar pendanaan operasional penyelenggara pendidikan di jenjang pendidikan SD sampai SMP merupakan hasil partisipasi masyarakat. Dimenangkannya tuntutan PGRI di Mahkamah Konstitusi tentang alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% ternyata masih berupa fatamorgana bagi penyelenggara pendidikan dan masyarakat. Lahirnya PP Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar dan PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, membuat semua kalangan terhenyak akan kealpaan selama ini
Kita harus belajar dari negara-negara yang telah menomorsatukan anggaran pendidikan dari segala sumber anggaran dalam anggaran pemerintah, di mana pendidikan merupakan aset kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap warganegara  dapat menikmati pendidikan dengan pembiayaan ditanggung oleh pemerintah. Peranan pemerintah terhadap dunia pendidikan sangat besar dalam mencerdaskan warganegaranya.    Akibat dari kebijakan tersebut ternyata negara-negara yang tadinya lemah dalam penerapan ilmu dan penguasaan teknologi, sekarang telah mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta berada pada posisi yang sejajar dengan negara-negara maju. Hasil dari majunya sistem pendidikan, ternyata dapat mengangkat perekonomian negara dan memperkuat ketahanan berbangsa dan bernegara.
Ramainya perbincangan tentang wajib belajar dengan “biaya pendidikan gratis”, tidak lepas dari tuntutan masyarakat terhadap perkembangan dimensi politik yang digulirkan selama ini. Masyarakat menuntut janji dari berbagai statement yang dilontarkan oleh para “calon” apabila terpilih dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, sehingga dunia pendidikan praktis dijadikan muatan politik. Hal tersebut terjadi tanpa menghitung kemampuan sumber dana anggaran pemerintah dalam mengalokasikan  sumber daya  pendidikan. Masyarakat menginginkan segera direalisasikannya biaya pendidikan gratis, mengingat  biaya  pendidikan disetiap penyelenggara pendidikan dirasakan mahal oleh sebagian masyarakat yang menginginkan pendidikan bermutu.
Lahirnya PP Nomor 47 tentang Wajib Belajar dan PP Nomor 48 tentang Pendanaan Pendidikan merupakan awal dari rencana pemerintah dalam pendidikan dasar dengan sistem pembiayaan pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Hal ini berdampak pada penghapusan Dana Sumbangan Pendidikan (DSP) pada jenjang pendidikan dasar yang berasal dari partisipasi masyarakat. Akibat dari ini, memunculkan berbagai pertanyaan, antara lain :
  1. Sanggupkah pemerintah dan pemerintah daerah  menjamin biaya pendidikan dasar yang benar-benar gratis ?
  2. Bagaimana peranan masyarakat dari golongan ekonomi mampu, yang selama ini berpartisipasi dalam subsidi silang ?
  3. Akankah pendidikan bermutu dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat ?
  4. Bagaimana dengan tingkat kesejahteraan para pendidiknya ?
Hal ini merupakan Pekerjaan Rumah (PR) bagi penentu kebijakan dan harus ada penyelesaian yang komprehensif antara lembaga edukatif, eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam merealisasikan  PP Nomor 47 dan PP Nomor 48 Tahun 2008 sehingga penyelenggara pendidikan dapat memberikan pelayanan pendidikan bermutu bagi masyarakat.
            Kemampuan anggaran setiap pemerintah daerah akan berbeda dalam menyukseskan program wajib belajar pendidikan dasar terutama dalam alokasi anggaran pendidikan, oleh karena itu partisipasi masyarakat harus tetap ada. Masyarakat dari golongan ekonomi mampu harus terlibat dalam hal mencukupi anggaran sekolah, jika anggaran dari pemerintah dan pemerintah daerah minim. Sekolah yang berkualitas dan bermutu sangat memerlukan pendanaan yang cukup besar. Idealnya pengertian biaya gratis yang tepat adalah “gratis terbatas” atau “sekolah murah bermutu”. Hal ini akan terasa sekali terutama bagi penyelenggara pendidikan yang bertaraf  Sekolah Standar Nasional (SSN) dan  Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang berada di kota-kota besar. Peranan pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat sangat diperlukan dalam memberi pelayanan pendidikan yang bermutu. Kita berharap Wajardikdas 9 tahun dapat ditunjang oleh pendanaan pendidikan yang “berkeadilan”, di mana pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat dari golongan ekonomi mampu.
            Seyogyanya pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan harus segera melakukan pemetaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) disetiap penyeleggara pendidikan dasar. Agar dapat diketahui besaran riil Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) di setiap jenjang pendidikan yang mengacu pada SPM, sebagai bahan alokasi anggaran pendidikan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
            Itikad baik dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar dengan merealisasikan anggaran pendidikan 20% dan merealisasikan kesejahteraan bagi para pendidik seperti yang tercantum dalam UU Nomor  14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sangat diharapkan oleh penyeleggara pendidikan dan masyarakat, kami tunggu !.
             


Penulis, guru SMP Negeri 43 Bandung,
Ketua Komite SD Negeri Dayeuhkolot IV.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar